Syak Hati
July 02, 2014
Hari ini satu juli 2014,
Yang ternyata perayaan HUT Bhayangkari.
Sejenak aku flashback, tentang
bagaimana seharusnya hari ini berjalan. Mengalur dalam sebuah roda yang
berputar. Roda yang pada akhirnya, membawa ke bawah lintasan ini. Ketika semuanya
bermula pada teller, merambah kantor pajak, dan berakhir di sayap kanan markas
besar dimana orang berlalu lalang itu.
Aku susuri renggangan ini pelan –
pelan. Mencoba menyatukan beberapa tuan kepingan semalam yang terpatahkan.
Kukira aku berhasil. Memunggal kesalahpahaman ini, menyetabilkan sektor dua
tujuan. Bahkan jika diingat ini memasuki fase dua lapanan.
Pada awalnya semua berpihak baik
– baik saja. Tersenyum seperti biasanya. Bercanda seadanya. Dan bercerita
beberapa penggal cerita. Hingga, tersebutlah pada satu episode. Tentang
alternatif jawaban dari pertanyaanku kemarin. Aku merasakan perbedaan itu.
Perubahan yang nampak semakin nyata. Membuat serat ber-alur baru. Merujuk pada
nganga yang membayangi semakin lebar. Sesungguhnya pun, aku tak pernah tau,
kenapa ia. Senantiasa membalutkan sulut emosi setiap kali kusebtkan nama
‘beliau’. Mungkinkah pantas, wali itu menjadi sasaran envious nggak ketulungan?
Kurasa seharusnya tidak. Tapi segalanya terlanjur terekam dalam datum perintahnya.
Tanpa sanggup tercegah olehku, dan selalu siap merangkapi buliran emosi setiap
kali ceritaku berbumbu itu.
Dentang berdetak lama dan serasa
semakin membosankan. Terlebih mengingat buih perasaan yang tertahan di sudut
otak, menjejal ingin berontak. Kukatan pelan akhirnya, kuutarakan pamitku
sendiri. Tak perlulah antaran lagi. Karena yang ada dalam pikiranku, antrian
ini menunggu. Disini saja, biar outlent di depan yang membawaku. Sedetik
pancarannya menjadi asing, kemudian memberengut. Ah, aku yakin aku salah. Tapi
bagaimana? Aku tak mungkin biarkan ia. Card blue dua belas itu, masih dalam
erat genggamannya, setelah sebelumnya kuluncurkan ke lantai di bawahnya. Kudiamkan
ia begitu saja. Dari picingan mata kusadari jarak ini menganga. Membuat ruang
yang sungguh kentara. Aku rasa hatiku sedikit tercubit. Sementara ransel pelan –
pelan kembali di sebelahku. Ah, maksdunya apa?
Aku menenggelamkan wajah dalam
dekapan lengan. Mencoba mengurut hati perlahan, supaya tak terlalu kelimpungan.
Tak lama, seretan langkah itu kudengar. Sontak kulihat jenjang kaki, tak ada.
Ya kaki itu tak ada lagi di tempatnya. Hei, maksudnya apa ini? Tanpa menunggu
komando apapun pelupukku mulai berair. Meleleh dan semakin tak tertahan. Hatiku
serasa ditampar keras. Sakit! Aku rasa aku harus pergi. Buat apa bertahan di
tempat seperti ini hanya menanti anginan yang tak pasti. Aku pergi. Aku pergi!
Halaman itu terasa sangat
menyilaukan. Sekilas aku melihat bayangannya. Beberapa detik aku berpikir untuk
menghampirinya dan memaki. Tapi toh buat apa. Tidak. Biarkan aku merasa tidak
melihatnya dan bergegas. Biarkan dia yang menyadari. Dan biarkan dia yang akan kemari
jika memang kepekaan itu masih miliknya. Jalanan di depan serasa padat di depan
mata. Aku menyeberang begitu saja. Sepertinya ada sepeda motor dari utara, dan
dari belakang seseorang menggamit tanganku. Menarikny agak ke belakang. Menghindari
laju kendaraan. Kutolehi. Benar. Kupercepat langkahku. Kuserahkan ransel di
dekapanku pada teman lama. Kulihat wajahnya kebingungan. Tapi peduli apalah. “Titip
ini”
Aku tau Ia menahanku pergi. Tapi aku
berusaha melepaskan diri. Kutinggalkan begitu
saja. Sayup kudengar ucapanya. Kata itu. Seketika aku merasakan kakiku lemas. Tapi
jika aku berhenti sekarang. Berarti aku menyerah. Diam – diam dalam hatiku
memintanya mengiriku. Tapi sepertinya tidak. Aku terlalu berharapkah? Apakah ucapannya
serius? Tiba – tiba kepalaku serasa pening. Kuputuskan berhenti. Di bawah pohon
sebelah jalan. Mendudukkan diri pada pot pelindungnya.
Jantungku berdegup riang. Dia datang.
Konyol. Aku tentu tahu betul sikapnya padaku. Bukan ia yang akan
menggampangkanku sendiri. Bebrapa patah katanya. Mendenging. Air mataku justru
senakin tumpah. Sakit yang kurasakan di ruangan tadi kembali ke ubun. Menggerogoti
seraup sukaku yang baru saja menyelip. Ia berusaha memintaku. Tapi justru aku
semakin menolak. Membalikkan badan dan lebih deras meluruhkan buliran air mata.
Hingga pada ujungnya aku berhasil menghindar dan melangkah lagi.
Siratannya menjauh ke depanku. Apakah
aku ditinggalkan? Setega itukah? Aku kalut sendiri. Kenapa tak ku tanggapi yang
tadi? Kenapa ku acuhkan begitu saja? Kenapa justru hanya childishku yang
membumbung tinggi? Aku berhenti lagi. Kali ini benar – benar merutuk. Pelan kugapai
ponsel. Berharap. Ya benar. Pesannya. Aku sedikit tersungging senyum. Tapi sedetik
setelahnya, luruhan itu benar terasa semakin mengguncang. Pemikiranku benar. Semua
kenapaku benar. Aku yang salah. Dan sekarang aku tidak tau apa yang harus
kulakukan. Outlent itu. Ya sebaiknya aku pulang. Membaringkan diri. Meletakkan pikiran.
Aku lelah.
Sebelumnya aku sempatkan ke
tujuan awalku. Teller. Kuseka air mataku yang masih tersisa. Merogoh ponsel. Pesan
lagi. Dan kali ini rasanya semakin sakit sekali. Kenapa tadi aku naiki outlent
ini? Kenapa tak jalan kaki aja? Biar walaupun pesan ini telat terbaca tapi
tetap kutemui. Kenapa seperti ini lagi. Aku menghela nafasku dalam – dalam. Menahan
air mata yang rasanya benar – benar mau tumpah. Kumasuki teller itu. Sepersekian
detik transaksi selesai dan aku meninggalkan ruangan ber-AC itu.
Kali ini yang kutunggu adalah
minibus. Membiarkannya membawaku pulang. Tetap dalam leleran air mata. Hingga di
atas kendaraanku pun. Aku ingat terakhir seperti ini terhitung dua belas bulan
yang lalu. Saat sikon yang sama. Aku kehilangan konsentrasi yag sama. Dan
terjatuh yang sama. Bedanya, kali ini aku masih beruntung. Tak ada luka, dan
hanya meninggalkan bebrapa shock hati yang semakin kuat adanya.
Aku menyerah dalam kegegabahanku
sendiri. Aku kalah dalam kekanak – kanakanku sendiri. Aku menyesali karena
ketidak rasionalanku sendiri. Aku sendiri.
*A |
Karena
cinta tak ingin bertahan pada dua hati, yang tak menginginkan hal yang sama. Karena
jika yang satu tidak memiliki ruang yang cukup untuk menumbuhkannya, maka cinta
itu akan beranjak pergi.
-Abelala
0 comments