Sejawat (27314)
Ada
ketika sebuah pertemanan itu, diuji. Melewati jalan terjal, yang memungkinkan
keretakan. Menempuh setapak licin yang berpeluang menggelincirkan. Ada ketika
sebuah pertemanan itu, diserang. Menggempur pertahanan yang entah bagaimana,
dibayangkan. Semua peluang apapun yang menghancurkan, merobohkan, dan mencipta
kepingan itu pasti akan datang. Hanya saja, tidak ada yang tau kapan
pengintaiannya berakhir, dan bagaimana ia menimbulkan nestapa di masing -
masing relung, dalam sebuah pertemanan.
Aku,
disini sedang berada di lingkarannya. Mengalami pahitnya sebuah rasa. Menoreh
sebuah luka, di dinding yang kurasa, mulai rapuh adanya. Ketika melodi muncul
berganti sunyi, hanya ada mulut yang terkatup di setiap derap yang mendekat.
Ketika sebuah senyum terganti rintihan, hanya ada sayat pilu tergetarkan, di
setiap detik yang berdentang. Akankah, aku mampu? Dan apakah perekat itu masih
bernama kita?
Diam
- diam aku mulai berbicara dengan air mata. Menghembuskan resah di bawah redup
awan yang tergantung. Melukis wajah dalam bayangan, air. Tahukah, hati kini melekat
pada tiga bagian yang awalnya hanya satu. Mencoba melangkah untuk menyatukan,
namun hanya ada jurang yang semakin terasa dalam. Aku dengannya. Aku dengan
mereka. Dan aku dengan mereka bersama mereka. Kuteraiki setiap langkah yang
terpelucuti amarah. Menggaungi setiap hati tak terperi. Bagaimana bisa,
kekuatan ikat ini terkalahkan dengan sebuah
retak bernama kesalahan?
Hari
ini aku masih bergeming. Mengulik dasar ingatan. Mengais sebuah sebab yang
belum terang kutemukan. Dengannya aku membuat kesalahan. Dengannya aku
menimbulkan penyesalan. Dan dengannya air mataku mengatakan kesakitan. Aku
bagiankan ia yang terbaik. Aku bagiankan ia yang terindah. Tapi bagaimana bisa,
ini terjadi? Aku tidak mengetahui kesakitannya yang katanya, karenaku.
Belum tenggelam akan resahku bersamanya, kini
kembali terjungkir ikat oleh dia bersama mereka. Ketika semua tengah bersatu,
membantu. Tiba – tiba ulikan sipenmaru itu menguak. Menciptakan satu lubang
yang semakin menganga. Menyobek duatuan itu menjadi tiga. Aku tidak paham
betul. Dua sisi yang berbeda alurnya. Saling berebut mempertahankan posisi,
kebenaran. Bagaimana aku harus melihat ini, meluangkan fikirku untuk sebuah
solusi. Ketika aku pun tengah dirundung sesal yang sama, karenanya. Dari sisi
mana aku harus melihat, supaya nganga ini tak semakin besar. Dan luka ini
segera mongering?
Semiris inikah? Aku
tidak mengerti. Hanya saja aku berharap, bukan hubungan ini yang berujung
tersakiti. Mungkin hanya soal bertoleransi. Membiarkan detik – detik waktu yang
mengguliri, untuk memberikannya sebongkah ruang berpikir. Jika cinta dalam dada itu muncul kembali, aku
yakin sekeras apapun amarah memberontak, ia pasti akan tetap menang telak. Dan
serpihan lima karakter ini akan kembali terekat, mencuat, sesempurna pelangi
yang terbias di birunya langit pagi. Bersabarlah, hati.