Rasanya seperti ladang tebu selepas panen,
yang terakhir kali kita lihat waktu itu:
gersang, sepi, berantakan.
Hari ini, di tanggal seperti ini, apa kamu mengingatnya?
Hari paling implusif,
dengan pasangan sandal jepit, baby doll, dan jaket pinjaman
ah, apa kita dulu selalu implusif?
tidak berencana, tidak memikirkan mau kemana-mana.
Hari ketika untuk pertama kalinya,
kita saling menangisi satu sama lain
di ayunan taman bermain dengan bayang-bayang
ujian statistika?
Perpisahan ini menyebalkan dan sangat tidak lucu,
harusnya aku membencimu saja seperti
orang-orang yang hanya melihatmu dan aku berantakan.
Tapi ternyata aku tidak melakukannya, juga
sama sekali tidak bisa meski memaksa.
Aku tidak membencimu, justru mungkin sekarang
jatuh cintaku padamu lebih besar.
Apa itu masuk akal? Tidak, aku tahu tapi tidak ada
yang perlu diklarifikasi untuk dinilai
tingkat masuk akalnya, kan?
Rasanya sepi, melihat segala persiapan yang dengan canggung
sengaja diberhentikan.
Kayu-kayu bakar yang ditumpuk setengah tinggi,
lalu dibiarkan karena tidak lagi tau apa akhir tujuannya.
ketan-ketan yang masih belum sempat diaron menjadi jenang,
juga drum-drum berisi rengginang yang beberapa waktu lalu
begitu semangat dibuat dan dikeringkan pelan-pelan.
Ah, belum lagi segala tikar yang sudah dibeli
kini menumpuk di sudut ruang depan.
Beradu sempit dengan tumpukan toples jajan, serta
nampan-nampan stainless yang kiranya akan digunakan
untuk menjamumu dengan berbagai hidangan.
Kenapa perpisahan meninggalkan sebegini banyak kecanggungan? Kenapa perpisahan tidak menghilangkan segala jejakmu saja?
padahal kamu tidak ada di seluruh hal yang kusebutkan,
tapi semua orang di hari kemarin bersuka cita menyiapkan
dengan harapan kamu mendapatkan jamuan paling enak,
kamu secara fisik memang tidak ada di seluruh persiapan,
tapi di hati setiap orang,
mematrimu sebagai tujuan dalam menyelesaikan.
Sama sepertiku, yang tetap meletakkanmu dalam, akhir tujuan.
Dunia selepas kamu pergi tidak pernah baik-baik saja, mas
tidak ada lagi ada rasa enak di suapan pecel yang tersaji
juga tusukan cilok yang tidak lagi menggugah rasa
dunia rasanya menjadi sehambar bubur rumah sakit
enak saja kelihatannya, tapi tidak begitu aslinya
Bungkusan-bungkusan paket yang kubeli sambil memikirkanmu
sekarang berakhir di tumpukan lemari bawah
hanya kususun dan kulapisi supaya tidak berdebu
aku belum membukanya, karena mungkin saja nanti, atau besok
kamu ada niatan untuk kembali?
Persis orang bodoh, kerjaanku hanya duduk manis
diam membiarkan seluruh kepala merapalkan namamu
memeluk utuh harapan yang sepertinya hanya palsu
tapi setidaknya disini ada uti, yang sebari menggenggam erat
menemaniku untuk menungguimu,
yang siapa tau, sekali lagi, kembali?
Cinta ini datang begitu hebat, ya.
mendekap sebegini erat,
menyelimuti kesendirian dengan hangat.
Ah, cintamu, apakah sama hebat?
kadang seluruh potretmu menari-nari,
melantunkan iramamu sendiri.
yaa, meski hari begitu sepi, ketika
kamu memilih dunia daripada bersapa
tapi aku tetap akan pilih untuk mengingatmu,
daripada terpaku menghilangkanmu
dan membuat luruhnya separuhku?
haha aku tidak ingin layu,
ketika tarian jarak membawamu.
Entahlah, aku juga tidak tahu
Apa ini cinta yang tepat?
Apa ini waktu yang tepat?
Apa cinta kita berada di waktu,
yang memberi kemungkinan kita untuk
menjadi satu?
sekali lagi, aku, pun kamu
tidak tahu.
Aku hanya mencintaimu,
dengan sangat.
dan aku percaya, pun kamu
mencintaiku begitu hebat.
H-6.
Mengikhlaskan itu ternyata perkara bulshit.
Menuju empat, yang tak sempat.
Semuanya tetiba runtuh menimpa
Merobohkan kekuatan yang kucoba susun
dengan segala doa.
Aku ternyata tidak bisa.
Tidak hanya isi dalam kepalaku
Tapi juga seluruh tangan, kaki,
perut, mata dan mulutku.
Alur dari kelopak masih deras,
dan sisa seperempat porsiku tadi pagi
buyar keluar tak terkendali.
Adakah obat yang bisa kutegak?
aku, rasanya tidak mampu
atas segala rasa yang telah utuh
di pelukanmu.
Aku tidak sedang bermain kejar-kejaran
apalagi berlomba.
Aku hanya sedang berdamai,
dengan egoku sendiri.
Rasanya sulit,
karena di dalamnya aku menemuimu
dengan segala keterbalikan yang ada padamu
yang aku sangat tidak suka,
tapi tak ada cara untuk berhenti menyayangimu.
Aku menyayangimu dengan segenap rasa
tetapi banyak realita yang menikamku seksama.
aku membencimu,
tapi juga sangat menginginkanmu.
aku ingin meninggalkanmu,
tapi juga sangat ingin lebih erat memelukmu.
Kenapa?
kenapa kamu harus datang dengan dua rupa?
kenapa kamu harus menjadi luka dan suka?
Kenapa?
aku ingin menyerah dengan perasaanku.
aku ingin menyerah mengertimu.
aku ingin,
kamu.
Berapa banyak denial yang kusiapkan,
setiap kali ada gejala yang meraba
rasa pasti punya kadaluarsa
yang menguap dan bersatu di angkasa.
Akhirnya, upaya berujung pada gundah
lalu kaki melebarkan sayap berbeda arah.
Apa ini yang namanya dalan liyane?
yang berkuasa memperjelas tapal batas
menutup segala harapan bawah tangan
memutus bifurkasi yang membara.
Aslinya aku sudah tau endingnya
sebab segala mula dariku yang ambigu
juga perasaanku yang egois
serta segala agenda skeptis.
Tetapi tepat ketika solitaire itu sampai penghujung,
Gurat nostalgi menyabotase premis.
Ia membisikkan berbagai umbuk,
membuat lembar terakhir terasa rekat dengan sampul
Aku tidak ingin membaca,
tapi rasanya kok sudah bergumul di kepala.
Maaf,
dan terima kasih untuk seluruh babnya, ya!
Cerita pasti punya cela.
Alur memang lebih terasa jika klimaksnya tak terduga.
Tapi, kau akan tetap bermakna sama.
Meski sekecil pupil dalam samudera doa.
Selamat, Eunoia!
October 9, 2020.