Suatu ketika saat aku sedang berfikir benar,

menjadi versi stabil.

Katakanlah tentang kue lapis: dengan empat layer warna.

Layernya tersatukan dan menjadi lapisan terbaik dari masing-masingnya. Tidak peduli warna apa yang berada di lapisan atas atau sebagaimanapun susunannya. Hanya menerima. Menyamankan posisi untuk membuat terlihat elok menggugah selera. Memunculkan pesona betapa legitnya ia.

Cukup.

Itu hanya aku sedang belajar dari analogi.

Sejatinya aku pikir harusnya begitu. Dia, mempunyai empat layer. Tetapi ia tetap satu  juga: kue lapis. Justru ketika dia hanya satu layer tidak akan ada yang percaya itu kue lapis. Setiap bagian hanya berperan dalam satu layer saja. Sekalipun ternyata layer pertama berwarna sama dengan layer ketiga, tetap itu bagian yang berbeda. Masing-masing akan ditempatkan seperti itu sesuai susunannya. Tidak perlu berontak ingin berada pada layer mana, toh sama saja. Bukan berarti hebat berada di urutan pertama, kan?

Meski warnanya tak sama. Tapi rasa mereka sama, bukan? Saling mendukung untuk menjadi legit.

Cukup.

Bukankah itu sudah merupakan pelajaran? Untuk menjadi baik di bagianmu saja? Untuk tidak dadang dengan menuntut menjadi lebih tebal dari yang lain? Atau dalam keadaan lebih buruk ingin menjadi bagian di seluruh layer?

Seharusnya siapapun malu.

Termasuk aku. Tetapi aku tidak bisa memastikan ketika aku berada dalam versi labilku.

Hanya saja mungkin akan lebih baik setelah aku membagi ini.

Semacam punya self reminder sejak ini. Mungkin aku masih akan begitu, tapi semoga jika aku membacanya kembali aku bisa mafhum.

Tersindir dengan ucapanku sendiri.

Bukankah begitu?

Disemogakan saja. Dan kamu, semoga sudi untuk mengaminkannya.