Iya!
October 07, 2014
Jika ku
diberikan hak mengumpamakan, aku kira kamu laksana bintang. Yang terkadang
muncul dan berteman. Kemudian disaat selanjutnya menghilang dalam sepi
berurutan. Aku bukan ingin membiarkanmu menjauh dan hilang dari genggaman,
hanya saja aku sedang belajar membiarkanmu menjujung tinggi angananmu disana. Juga
menyusupi pelan tentang mimpi yang kita bangun di kala itu, saat pagi baru
menyeringaikan setambul mentari.
Aku
menghitungi, lima, enam, tujuh.
Terima kasih
untuk semua firasat ini, entah apa yang akan terjadi pada perasaanku jika semua
keserbadadakan ini, bukan di prolog i perjalanan rindu. Mungkin, aku akan
bertekad pulang meminta pelukanmu. Atau aku yang akan menunggumu di helaan
pintu itu, esok hari. Tapi ternyata, jalan ceritanya menjadi lebih indah
ketimbang sekenario kertas yang tak sempurna kita saputkan harapan. Kita
dibiarkan terlantarkan petang, dibalutkan gundah bersama dia sahabat tercinta,
kemudian bersesakan pada malam yang meluncur di tiap tiap kelokan. Setelahnya,
kamu ataupun aku dihadapkan pada satu lagi tantangan. Meluruskan ego yang
mengganggu, atau mematuhi aturan yang ada disitu. Dihardiki penjagaan karena
melewati waktu kunjungan. Dan menaklukkan malam di bawah talok depan gerbang.
Ah, mungkin ini kesalahnku. Tak menyiapimu teduhan yang memuaskan. Lantas
membiarkan mimpi dicekam kekhawatiran. Berharap segera hilang, hingga dapat ku memburu pagi dengan sekotak nasi dan penyejuk
tenggorokan.
Seharian itu,
rasanya senin tak lagi sungguh melelahkan seperti biasanya. Yang walaupun tugas
keteteran lantaran di rumah nggak dikerjakan. Tapi melihat setiap kali selese
jam itu, jauh lebih meluluhlantahkan kesal yang menggebu di lubuk yang
tersuruk. Apalagi kalau, sebagiannya diambilkan bagian. Dan itu benar, menyenangkan.
Kalau candle
light dinner itu biasanya di restoran romantis yang kudu pake bajet bejibun
gitu, tapi bagiku yang ala ala piknik itu lebih awowo. Dengan menu yang
seadanya, tempat yang begitu saja, pertunjukan di depan mata yang terorganisir
bak opera, bintang nun jauh yang ikut tertawa, dan tentu atmosfir hati ini yang
meluap karena bahagia.
Bahagiaa meski
ternyata ada dusta diantara kita. Yang katanya, Iya sudah ada. Ternyata, berada
di tempat yang sama seperti hari sebelumnya, yang ternyata belum ada seperti
yang ia kata. Dan ternyata, aku menjadi terlalu jahat dalam pandangannya. Maafkan
aku.
Lalunya pagi,
di alun alun bundar itu, setelah mengalunkan senandung riannya bersepeda, menu
santap menjadi serasa istimewa. Setelah beberapa minggu yang lalu menggumam
kepengin tapi nggak ada temannya, tapi lho akhirnya disini juga kali ini tempat
sarapannya :)
Dan setelah
ini, menjadi saat saat dramatisir. Saat telepon tiba – tiba itu membuat rencana
buyar seketika. Membuat aku harus kembali naik tangga lantai tiga, tiga kali
pula. Membuat aku harus menahan tangis yang tak mau kutunjukkan padanya.
Membuat, akhirnya semua perjalanan rindu ini sampai disini saja. Seperti yang
kuucap saat malam menjelang tiba. Saat, aku tengah berusaha menikam rasa yang
tak ubahnya menginginkanmu tetap ada :)
Berjuanglah di jalanmu, dan
kutemui nanti pada titik dimana kita akan membawa mimpi kita masing – masing. Pada titik, yang tidak hanya akan memberikan opsi yang
seperti ini. Pada suatu ketika untuk bersama selamanya. ^^
Malang, tujuh oktober dua ribu
empat belas
0 comments