Everything it’s over. Isn’t it?
May 25, 2014
Malam
sunyi ku inginkanmu. Kulukiskan kita bersama. Namun selalu, aku bertanya. Adakah
aku di hatimu?
Simfoni hitam milik Sherina ini
tiba-tiba mengalun. Menggema menggantikan suara berisik yang timbul antara ban
kerta dan lintasannya. Hatiku sensitif. Kelenjar di sekitar mataku mulai
bereaksi. Menjatuhkan setitik demi setitik buliran air mata. Adakah sekarang
aku menangis? Ya, kupikir seperti itu. aku menangis disini. Di tempat umum. Di gerbong
kerta bernomor satu. Ah, kenapa aku tidak bisa menahannya? Setidaknya, untuk
beberapa stasiun lagi hingga aku menuruni kendaraan ini. Tapi, tapi aku terlanjur
mengusapnya. Dan membiarkan yang lainnya lebih deras keluar.
Setelah aku berusaha bertahan, apakah malam
ini aku sudah tidak sanggup? Aku merelakannya semuanya berakhir? Malam begitu
saja berubah mencekam di sekitarku. Isakan halus yang kutimbulkan sendiri
terdengar semakin nyata. Aku yang biasanya masih mampu merajuk untuk
menghentikan kondisi ini. Menyusun kata berlarik-larik. Mengungkapkan isian
hati yang tak rela. Memperjuangkan perasaan yang terlanjur dalam kutanamkan. Tapi
kenapa malam ini tidak? Kenapa aku tidak meracau panjang-pendek? Kenapa aku
tidak memencet berulang kali tombol telepon di genggamanku? Kenapa aku hanya
menagis dalam diam? Kenapa aku membiarkan semuanya mengalir begitu saja? Kenapa?
Apakah benar aku sudah tidak kuat lagi menahan semua ini? Menjaga diri dari
sebuah permintaan yang menurtku –maha-besar- untuk kurelakan? Apakah harus
dengan jalan yang seperti ini?
Aku membangun tinggi-tinggi
kepercayaanku. Menimbunnnya dalam dan meleletkan adonan semen lengket untuk
merekatkannya semakin kuat. Aku membiarkanmu menempati kepercayaan itu.
mengizinkanmu memiliki kepercayaanku yang besar. Tentang arti seorang yang
perhatian. Penuh cinta. Lembut tutur kata. Perjuangan. Dan tentunya, bukan
tipikal soerang yang memintaku melakukan hal di luar norma.
Namun kesini, aku tidak mengerti
kenapa waktu membuatmu seolah lupa. Tentang semua mimpi yang tertulis secara
tidak sadar di dinding hati terdalam. Membiarkanku terjuntai begitu saja,
diantara kerapuhan kepercayaan yang meluntur tiba-tiba. Aku memikirkanmu lebih
karena sebuah kekurangan yang berusaha ku satukan dengan kekuranganku. Berharap
tercipta sebuah kebersamaan yang dilihat sebagai kelebihan. Dan itulah yang
selalu berusaha di wujudkan. Mewujudkan euphoria hati bertuan kita.
Tapi tiba-tiba. Bebrapa waktu yang
lalu. Setelah kalimatmu yang –biasa-kutolak-dan-kuperjuangkan-sepenuh-hati- itu
mencul kembali, aku tidak bereaksi lagi. Aku hanya menenggalamkan diriku. Menafsirkan
kesedihan yang dengan gampangnya merasuki perasaanku yang semula baik-baik
saja. Apakah memang ini saatnya. Saat ketika getirku goyah dalam mengucapkannya.
Everything it’s over. Isn’t it?
Its Over -_- |
Aku tidak tahu. Kalaupun iya. Aku tau
aku tidak akan serta merta pergi. Meniggalkan seluruh puing yang berantakan. Aku
tidak akan segera memunguti kepingan yang pecah ini untuk kusatukan lagi. Aku tidak
akan membiarkan orang lain menemukan kepinganmu dan membuatnya sempurna
kembali. Tidak. Karena aku akan menunggu dan menyimpanmu dalam lima tahun kedepan.
Jika ketika itu, secercah harap itu kembali, aku akan dengan gembira
mengumpulkan lem terkuat untuk menyatukannya utuh lagi untukmu.
-Abelala
1 comments