Capitulate

January 28, 2017


Waktu memang selalu lebih mahir menjungkirbalikkan kisah. Seperti ketika aku baru saja merasakan betapa aku mulai mencintaimu.

Tepat pada saat itu pula badai datang dan merubuhkan semuanya. Aku kehilangan arah untuk menemukan jalan menyusulmu lebih cepat. Sementara dedaunan kering masih melayang-layang menyingkap pasir yang tertahan diantara kemarau panjang. Lalu dengan cepat debu-debu terhuyung, berlomba dengan oksigen di udara untuk lebih cepat sampai di saluran pernafasanku. Aku terbatuk-batuk, tapi muskil.

Siang menggeliat seolah enggan dengan seluruh rajukan yang kuajukan. Aku sendiri. Menikam ketidakberdayaanku sendiri.

Ketika pada akhirnya aku menangis, hujan datang berempati. Ikut-ikutan membuyarkan debu yang teronggok di depan hidung dan menutupi jalannya masuk oksigenku. Ia tidak mengatakan apapun, juga tidak berupaya menanyaiku kenapa. Aku terbantu, tapi tetap sendiri. Bersembunyi dengan ketakutan karena tidak bisa melihatmu lagi.

Akankah mencintaimu menjadi sesulit ini bagiku?

Tidakkah semua petuah manis yang kaulipat di seujung kertas tisu itu masih ada? Aku hanya sedang menempatkan hatiku. Aku menerima lipatan tisumu dan berusaha menumbuhkannya. Adakah yang salah? Aku sudah berusaha jika kau tau. Aku memang tidak pandai merawat. Pun tak sabar merekam ramu yang kau bentangkan. Tapi kenapa milikku tak kunjung berbuah lebat hingga akhirnya kini rubuh tertelan badai?

Mungkin aku yang lamban, atau kau yang terlalu cepat tumbuh. Aku masih terkoyak dengan duri dan sedang berusaha untuk melepaskannya. Aku awalnya melihat kau mengiringiku, berusaha memelankan yang kau tumbuhkan. Lantas menyiratkan ini itu untukku terbebas. Tapi kau lupa, kau menyiramiku pula dengan rupa-rupa bebauan. Menghujamiku dengan manik-manik, yang berat hingga aku lupa dengan ulasanmu yang ini itu. Aku tersedak disisi aku menumbuhkan petuah manis di ujung tisumu. Sepertinya sebagian darinya terhambur. Terbang di luar batas kendaliku, dan aku tak mampu menggapainya. Tidakkah kau sadar itu jauh lebih memberatkanku?

Kenapa kau begitu cepat tumbuh ketika aku masih tak berdaya?

Mungkin, aku tidak akan sanggup lagi berdiri untuk menepiskan duri-duri ini. Badai terlalu hebat dan aku terhempas terlalu rapat. Terima kasih kau masih ada disana dengan seluruh bentuk yang terlalu sempurna –untukku-yang-terkoyak. Tapi aku tidak tahu, masih pantaskah aku kesana juga sementara hampir seluruh milikku capitulate.


28 Januari 2017,
10:57

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Wreda Entri 🤡

Seracik Sakalangkong

Ayunan derap melintasi anakan tangga Menyusuri celah kusamnya debu kelas pada kaca Menerjang pekatnya tangis dalam tawa Mengijab...

Like us on Facebook

Flickr Images

Instagram