Monolog sepi
December 09, 2017
Aku sedang bermonolog;
pada diriku sendiri;
mengandaikan sesuatu, memperibahasakannya;
Bilang saja padaku apa maunya dari ini semua;
aku gagal memahami keadaan yang begini, menghitung hari?
Ia bilang padaku, menyahuti monolog sepiku;
kata Ia:
Seperti permen karet;
yang manis di awal lalu
menjadi tak berasa pada akhirnya;
Masih,
kamu mempertahankannya?
tentu saja jika kamu sabar memberi kerjaan mulutmu;
sehambar apapun itu di dalam sana.
Untuk apa? Aku bertanya.
Lagi, jawabnya Ia:
Mungkin untuk ‘dipermainkan’
menjadi gelembungan;
menciptakan kebahagiaan lain;
memaknaimu tidak hanya dari seberapa manismu,
tetapi juga betapa kamu menyenangkan dengan jalan lain,
menjadi gelembungan;
Atau jika tidak begitu;
hal jahatnya adalah tentang pengakuan;
yaitu untuk mengatakan pada semua orang
betapa kamu bisa makan permen karet;
kesombongan yang tak beralasan;
keangkuhan yang menyebalkan.
Aku katakan pada Ia:
tentang kondisi yang sedang menertawaiku;
peralat sepah yang masih dipertahankan;
untuk menunggu ‘dipermainkan’ menjadi gelembungan;
dan bersiap-sap dibuang jika kesenanganmu sudah
hilang.
Ia lagi berkata, mematahkan monologku lebih dalam.
Beruntung jika masih masuk tempat
sampah;
sayangnya kebanyakan itu tidak, karena membuangnya di sembarang tempat
adalah kebiasaan;
membiarkan menjadi ranjau bagi orang lain.
Aku terhenyak, menyadari betapa konyolnya ini;
bukan, bukan tentang analogi permen karetnya Ia;
tapi bagaimana Ia tetiba muncul dalam monolog ku;
sejak kapan 'mono'log bersahutan?
bukankah begitu bernama 'di'alog?
Oh, mungkin aku perlu merevisi;
apapun ini, monolog atau dialog, atau siapapun Ia,
yang meracau di monolog sepi ini;
yang pasti:
Kamu,
Terima kasih untuk kesempatannya, menjadi permen karetmu ya;
semoga
kamu sudah senang ketika menjalani masa manis manisnya;
atau jika belum ketika permainan pelembungan itu;
jadi semoga ikhlas terselip sudah
ketika ‘pembuangan’ itu terjadi pada waktunya.
0 comments